"Wajah (sebagian) Anak Indonesia"

Memasuki bulan Juli, teringat saya kalo di tanggal 23 di bulan ini diperingati sebagai "Hari Anak Indonesia".Ketika sedang asyik mengerjakan pesanan catering di dapur siang tadi, pikiran saya melayang dengan peristiwa ketika Mba Asisten yang datang seminggu sekali untuk membantu menyeterika di rumah, didatangi anaknya untuk meminta uang jajan. Ini tidak sekali dua kali terjadi, tapi hampir setiap kali Mba itu datang, anaknyapun ikut 'ndatangi' saya. Awalnya saya ikut 'merogoh' dompet belanja harian saya ketika pertama kali si anak Mba datang, tapi ketika menjadi kebiasaan, hal itupun saya hentikan. Ketika saya tanya ke Mba, berapa sih biasanya mba ngasih uang jajan anaknya yang nomer 2 ( yang baru naik kelas 2 SD ) dalam sehari ? dengan sedikit malu-malu, si mba menjawab hampir 10rb. Itu tidak diberikan sekaligus, tapi 2 ribu ketika bangun tidur dan mau jajan ke warung, 3 ribu ketika berangkat sekolah, 2 ribu pulang sekolah dan 2 ribu ketika ngaji di TPA sore hari.

Dengan penghasilan dari saya yang hanya 250 ribu sebulan ( karena hanya 4 atau 5 kali datang dalam sebulan untuk membantu menyeterika ), tentulah si Mba harus 'tekor'
jika saja si anak meminta uang sejumlah yang saya sebut di atas setiap hari. Pola makannyapun membuat saya geleng-geleng kepala. Ketika sekitar jam 10 pagi dia main ke rumah di hari minggu, saya tanya: "sudah sarapan belum?" dengan 'enteng'nya dia menjawab, "ngga suka sarapan", makannya kalo dah siang. Kalo sarapan, suka sakit perut. Walah-walah....trus sampe jam segini sudah makan apa? dia menjawab, sudah jajan di warung. Saya tanya, jajan apa? dia menyebutkan merk minuman instan dan snack ( chiki ).

Mungkin yang saya kisahkan di atas, hanyalah sedikit kegundahan saya tentang kesalahan pola ajar yang diterapkan sebagian orangtua di Indonesia.Mencekoki anak dengan pemberian uang jajan ( apalagi sampai berlebih ), menurut saya bukanlah cara yang tepat. Selain pemborosan, faktor kesehatan juga kurang diperhatikan. Bayangkan jika anak-anak kita mengkonsumsi makanan atau minuman yang tidak jelas kebersihan dan kandungannya, dan itu dilakukan setiap hari, maka yang terjadi adalah munculnya penyakit, yang mungkin dulu ketika kita masih kanak-kanak tidak menjangkiti kita. Radang tenggorokan yang sering dikeluhkan anak-anak dan orangtua adalah sebagian efek dari pola 'jajan' yang tidak sehat.

Lalu apa sih yang seharusnya dilakukan orangtua untuk mengantisipasi ini? Sebagai orangtua tentu kita tahu, fase anak-anak usia Sekolah Dasar sedang mengalami masa pertumbuhan yang luar biasa. Tentunya fase ini juga harus diimbangi dengan asupan gizi yang sesuai. Pemberian makan tambahan selain makanan utama ( makan pagi, siang dan malam )adalah salah satu cara untuk menghilangkan kebiasaan jajan.Tidak perlu biaya mahal dan keahlian memasak yang tinggi, yang dibutuhkan adalah perhatian dan kemauan. saya masih ingat bagaimana orangtua kita dulu 'rajin'membuatkan bubur kacang hijau atau bubur sumsum ketika hari libur, atau sekedar menggorengkan bakwan di sore hari sambil kita berinteraksi satu sama lain dengan anggota keluarga.Selain menghemat,kita juga bisa merasakan kebersamaan.

Kebiasaan jajan tidak hanya saya temukan dikalangan 'bawah' saja, tapi juga untuk mereka yang 'berkantong tebal'. Mulai dari kebiasaan mengkonsumsi 'junk food'yang bertebaran di mall-mall hingga delivery order yang menjadi bagian dari gaya hidup mereka.

Bukannya saya melarang jajan, kasian dong para pengusaha makanan ( termasuk saya, he he, red), tapi mengatur jajan, supaya tepat dan tidak berlebihan. Bolehlah sekali waktu kita makan 'diluar' bersama keluarga, atau sekedar menghentikan tukang bakso langganan kita. tapi itu tidak kita lakukan setiap hari. Pernah saya punya tetangga yang punya kebiasaan kalo sarapan menghentikan tukang bubur ayam atau beli nasi uduk, siangnya beli soto di warteg atau beli gado-gado, sorenya beli bakso. Wah, dan ini dilakukan setiap hari. Padahal tinggalnya masih mengontrak. Coba saja kalo si tetangga saya itu 'berfikir' , daripada untuk jajan mending ditabung, pasti sekarang mereka sudah bisa membeli rumah sendiri, walaupun hanya sederhana.

Pola jajan juga saya temukan pada mereka yang disibukkan dengan aktifitas 'dakwah'. Atas nama dakwah, mereka meninggalkan anak-anak mereka dengan iming-iming uang jajan agar bisa membiarkan ortunya keluar dengan tenang. Padahal ada sebagian dari uang jajan itu yang akhirnya peruntukannya tidak hanya untuk jajan ( makanan ), ada juga sebagian anak-anak yang menghabiskan waktunya di tempat rental Playstation atau ke warnet selama ber-jam jam.

Yang jelas, membiarkan anak dengan fasilitas uang jajan 'berlebih' apalagi tidak kita kontrol dalam penggunaannya, bukanlah hal yang baik. Kalo untuk sekedar mengajari anak untuk bisa mandiri ( mengatur pengeluaran sendiri ) bisa kita lakukan untuk anak yang sudah agak besar ( usia SMP ke atas ), bisa melalui uang pekanan atau bulanan. Untuk anak-anak usia yang lebih kecil, tidak perlu kita umbar dengan uang. kalo alasannya biar kenal mata uang, bisa kok dengan cara mengenalkannya ketika kita berbelanja baik ke tukang sayur atau ke toko dekat rumah, minta ia untuk membeli sesuatu dengan kita bekali uang sesuai dengan harga barang yang kita maksud.
Bahkan di beberapa sekolah sudah ada kegiatan market day, mereka tidak hanya diajarkan untuk mengenal mata uang saja, tapi juga mengasah kemampuan berwirausaha dengan cara berjualan.

Mungkin masih banyak wajah ( sebagian )anak Indonesia yang lain yang menjadi bahan pemikiran bersama kita.

Yuk,...Ayah Bunda, jadikan anak-anak kita investasi terbaik bagi agama dan bangsa.

Wallahu 'alam

Komentar

Postingan Populer